Banyak selisih pendapat dalam penentuan awal Ramadhan. Ada yang memakai hisab, ada yang berpedoman rukyat. Bagaimanakah sikap kita seharusnya?
Jawaban :
Para ulama berselisih pendapat di dalam
menentukan awal bulan Ramadhan apakah dengan cara melihat bulan langsung
(rukyat) atau dengan cara hisab.
Pendapat Pertama mengatakan bahwa cara
menentukan awal bulan Ramadhan adalah dengan cara melihat bulan secara
langsung (rukyat) dan tidak boleh menggunakan hisab. Ini
adalah pendapat mayoritas ulama salaf dan khalaf, termasuk di dalamnya
Imam Madzhab yang empat (Abu Hanifah, Malik, Syafi'I, dan Ahmad).
Dalil mereka adalah sebagai berikut :
1. Sabda Rasulullah saw :
لا تصوموا حتى تروا الهلال ، ولا تفطروا حتى تروه ، فإن غمى عليكم فاقدروا له. و في رواية فاقدروا له ثلاثين
" Jangan kalian berpuasa sampai
kalian melihat hilal, dan jangan berbuka sampai melihatnya lagi, jika
bulan tersebut tertutup awan, maka sempurnakan bulan tersebut sampai
tiga-puluh." (HR Muslim)
2. Sabda Rasulullah saw :
صوموا لرؤيته وأفطروا لرؤيته
"Berpuasalah karena kalian melihat bulan, dan berbukalah ketika kalian melihat bulan." (HR. Bukhari dan Muslim)
3. Sabda Rasulullah saw:
إذا رأيتم الهلال فصوموا ، وإذا رأيتموه فأفطروا
" Jika kalian melihat hilal (Ramadhan) , maka berpuasalah, dan jika kalian melihat hilal ( Syawal ), maka berbukalah." (HR Muslim).
Hadits-hadits
di atas menunjukkan bahwa cara menentukan awal bulan Ramadhan adalah
dengan melihat bulan secara langsung. Jika bulan tersebut terhalang oleh
awan, hendaknya disempurnakan bilangan bulan hingga tiga puluh hari.
Inilah maksud lafadh "faqduru lahu" dalam hadits di atas setelah
menjama' beberapa riwayat yang ada.
Pendapat kedua mengatakan bahwa cara menentukan awal bulan Ramadhan dengan menggunakan hisab. Ini adalah pendapat Mutharrif bin
Abdullah, Ibnu Suraij, dan Ibnu Qutaibah. Mereka berdalil dengan hadits
riwayat muslim di atas ( lihat hadits no 1 ) , hanya saja kelompok ini
menafsirkan lafadh " faqduru lahu " dengan ilmu hisab. Yaitu jika bulan tersebut tertutup dengan mendung, maka pergunakanlah ilmu hisab.
Dari dua pendapat di atas, maka pendapat
yang benar adalah pendapat mayoritas ulama yang mengatakan bahwa untuk
menentukan awal bulan Ramadhan dan Syawal adalah dengan cara melihat
bulan secara langsung (rukyat). Boleh memakai alat bantu seperti
teropong dan lain-lainnya. Demikian pula diperbolehkan menggunakan
hitungan hisab, tetapi hanya sebagai pembantu dan penopang dari rukyat.
Selain dalil-dalil yang telah diungkap
di atas, ada dalil lain yang menguatkan pendapat mayoritas ulama,yaitu
sabda Rasulullah saw :
إنا أمة أمية ، لا نكتب ولا نحسب ، الشهر هكذا وهكذا يعنى مرة تسعة وعشرين ومرة ثلاثين
"Sesungguhnya kita (umat Islam) adalah
umat yang ummi, tidak menulis dan menghitung, bulan itu jumlahnya 29
hari atau 30 hari."(HR Bukhari dan Muslim)
Artinya hadits di atas adalah untuk
menentuan awal bulan, umat Islam tidak diwajibkan untuk mempelajari ilmu
hisab. Karena Allah telah memberikan cara yang lebih mudah dan bisa
dilakukan oleh banyak orang, yaitu rukyat. Ini bukan berarti umat
Islam dilarang mempelajari ilmu tersebut, karena Allah swt telah
memerintahkan kepada umatnya agar selalu menuntut ilmu pengetahuan
selama hal itu membawa maslahat dalam kehidupan manusia ini. Akan
tetapi maknanya bahwa ajaran Islam ini mudah dan bisa dicerna oleh semua
kalangan, dan bisa dipraktekan oleh semua orang.
Selain itu di dalam ilmu hisab (ilmu
falak) telah terjadi perbedaan pendapat yang sangat banyak. Ada yang
menetapkan bahwa awal bulan dimulai pada saat terbenam matahari
setelah terjadi ijtima’. Sebagian yang lain menetapkan bahwa awal
bulan dimulai pada saat terbenam matahari setelah terjadi ijtima’
ditambahkan bahwa pada saat terbenam matahari tersebut, Hilal (bulan)
sudah wujud di atas ufuk. Ini sering disebut dengan model “ wujudul
hilal.”
Bahkan ada kelompok yang mensyarakatkan
wujud bulan di atas ufuk tersebut dengan imkanur rukyat (berdasarkan
perkiraan mungkin tidaknya hilal dirukyat). Kelompok yang menggunakan
model “imkanu al rukat” inipun berbeda pendapat di dalam menentukan
batasannya. Ada yang memegang dengan batasan 2 derajat, ada yang memakai
5 derajat. Dan banyak lagi perbedaan-perbedaan yang tidak mungkin
diungkap di sini.
Inilah mengapa umat Islam di Indonesia
belum bisa bersatu di dalam menentukan awal bulan Ramadhan dan Syawal,
karena masing-masing dari aliran ilmu hisab (ilmu falak) memegang
prinsipnya dan merasa paling benar, sehingga tidak mau mundur sedikitpun
demi persatuan umat. Wallahu Musta'an.
Untuk mengurangi perpecahan yang terjadi
di kalangan umat Islam dalam menyikapi perbedaan cara menentukan awal
bulan tersebut, para ulama menfatwakan bahwa sebaiknya umat Islam
mengikuti awal bulan Ramadhan dan Syawal yang telah ditentukan oleh
pemerintah dalam negara
masing-masing. Untuk negara Indonesia umpamanya, hendaknya seluruh
rakyat mengikuti apa yang telah diputuskan pemerintah dalam hal ini
Departemen Agama. Itu semua demi maslahat persatuan.
Wallahu A'lam.
0 Response to "Penentuan Awal Puasa"
Posting Komentar